Cari Blog Ini

Minggu, 28 November 2010

Jenuh

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Adakah sisa sajak semalam? Yang berpuisi pada riak becek jalanan kota kecilku dan yang bernyanyi pada kebosanan hidup.
Ketika bagian dari puluhan juta sel darahku mencaci dan mencari dimana aku.
Kejenuhan yang sangat memuncak, meranggeh marah-marah.
Hei rakyatku, darahku, dengarkan lah sedikit keluhku, aku pun sama dengan kalian.
Tapi apa daya aku yang kalian sebut Panglima harapan kalian?
Kita sama-sama terjebak pada kebingungan. Kita bicara apa yg jadi tabu. Kita berjalan apa yg jadi salah. Salahkah kita?

Senin, 22 November 2010

Untukmu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar





Aku melepasmu, beralih pada hidup yang berliku.

Menyakitkan, merobek lagi cinta itu.

Kebekuanku pun tersedu, tanpa rindu seperti dulu.

Tapi aku juga ragu, benarkah keluguanku membisu?

Dan mungkinkah aku mencintaimu? Sedari dulu pun aku begitu.

Tak ada lagu untukmu, yang tersisa hanya album masa lalu.

Tapi aku akan kembali padamu.

Dan berharap mimpi terwujud.

Ku datang dengan tulus, untuk berkata padamu.


"Ingatkah kita pernah bersatu. Seribu syair lagu tak menepis rindu.
Kalungmu membingkai semua itu. Seharusnya dulu tak begitu."

Karena Kau Si Jalang

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Kau Cantik, wajah mempesona dan indah tubuhmu buatku liar.

Melenyapkan aku dalam buai rayu anggunnya dirimu.

Perlahan aku jamah setiap lekuk tubuhmu.

Getaran hebat memacu detak jantungku.

Bernyanyi, bermelodi, melantukan nadiku:kau.

Terbangkan diriku lagi.

Aku cium keriting bibirmu, sedikit basah.

Aku peluk lagi dan aku raba. Liar !

Aku mencintaimu, JALANG !

Ratu dipuja-puja

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Dini, Ratu para Dewa.

Puja-puja mengalahkan selir-selir Raja.

Bidadari istana, kemerdekaan dari pejuang kuda.

Simbol kekuatan, cinta.

Hingga api unggun, membakar kayu setiap mereka yang mati.

Dini, dikelilingi cahaya mereka.

Arwah-arwah kemenangan menyambut sang Ratu.

Tak ada Elizabeth, yang ada hanya Dini.

Yang dikawal oleh tangan yang berhak.

Sang Ratu meninggikan kembali tahta.

Menghancurkan bahtera pasukan tirani.

Kembali mengukuhkan perjanjian.

Bahwa kita hidup dalam belaian kasih sayang.

Melihat masa untuk mati

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Hari ini dan besok adalah kebangkitan yang tak pernah bangkit.
Sedikit berharap pada langit tak tertuju.
Kecemasan dan kegundahan, milik jiwa sendiri.
Mencari keindahan dalam kegelapan.

Apalah aku kini?
Hilang raga dan jiwa.
Mencari kematian ditengah kegundahan, tak terjamah.
Siapa aku kini?

Ayah,
Emak,
Adikku tersayang,
Dini,
Serpihan harapan telah hilang.
Hilang juga kata-kata.
Puisi juga lemah tak bernyawa.

Ingin sedikit melihat tentang masa itu,
setelah itu, biarkan aku mati.
Biarkan aku jelajah sendiri duniaku, mencari jiwaku yang hilang.
Lepaskan lah aku.
Sesungguhnya aku mencintai kalian dan satu jiwa yang akan aku cari.

**KATA-KATA

 AQSHA AL AKBAR

-IMPIAN-

Tak akan aku sesali, kisah yang harus aku lewati.
Tidak kah aku adalah bingkisan hati yang suci?
Yang terus berlari untuk menemukan arti mimpi.
Sesunggunya harapan itu pasti, meski sulit didaki.

*****

-CINTA-

Hadirnya nadi itu, membingkai mahligai jiwa.
Menghiasi anugerah yang hakiki.
Ketika kudekap, peluk lah rasa yang tersisa.
seketika itu aku mengerti, kau memberi cinta suci.

*****

-MANUSIA-

Adalah ketakjuban sebuah pikiran.
Yang selalu bersanding nurani.
Adalah kemandirian sebagai ukiran kehidupan.
Yang sempurna karena sebuah ketulusan jiwa yang sesungguhnya berarti.
Adalah dirku yang mungkin akan jadi kenangan dalam bisunya batu nisan.
Kepastian bahwa hidup tak pernah tuli mendengar suara hati.
Sesungguhnya kita adalah manusia sempurna yang tak sadar akan kesempurnaan.

-Sebuah Puisi-

Ini bukan waktuku untuk menjemputmu.
Kegelisahan dibalik tirai kesedihan, menangisi kerapuhan asa.
Saat yang harus kulepas, kepergian tiada kata.
Keanggunanmu, kini lambaian perpisahan bagiku.
Dan hari-hari dimana aku akan menjadi abu.
Berdebu tanpa sedikitpun sentuhanmu.

Kita bukanlah benih-benih cinta.
Kau tidak untukku. Meski nafasku ingin merengkuhmu.
Aku akan segera hilang, dari setitik cahaya yang kian redup.
Kau tidak akan mencariku, aku tahu itu.
Dan, hapuslah rasa ini, yang membuatku terdampar pada laut tak berdasar.

Ini Puisiku Untukmu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Perlahan kini aku telusuri romansa, bersanding kasihmu, dan hangatmu.
Seketika aku pejamkan mata, membelai nadi jiwamu dalam kisah yang tak akan aku akhiri.
Melihat dan merasakan hadirmu, kebahagiaan tak bertepi.
Selama aku dalam pelukmu, kan kurasa apa yang belum aku rasakan.
Kau begitu indah.

Rebah lah kita di atas rerumputan, berembun, bekas kisah hujan malam tadi.
Kudekap, kupeluk, kucium bibirmu. Lepas sudah apa yang menjadi hasrat.
Bergelora dalam pergumulan cinta. Kita tak kenal waktu.
Terus dan terus kita nikmati. Tak mau, kita tak akan mau semua ini berakhir.

Kita buang ego, kita bakar pengkhianatan.
Cinta begitu kuta merelung dua hati kita.
Sampai kapan aku kan berpuisi? Menyebut namamu, tak henti-hentinya.
Aku kira, kita tetap selalu berjalan bersama.
Bukankah kita sudah tenggelam ke dasar samudera cinta?
Tak mungkin lagi kita bisa mengapung di atas keegoan diri kita.

Sayangku, "aku menyayangimu". Hanya itu puisiku.

Ada Kisah di Balik Kisah

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
DIA PUN HILANG.
ENDAPKAN GELORA CINTA.
PERLAHAN CIPTAKAN KEHENINGAN.
KERAPUHAN SISAKAN LARA.
MERESAPI BELAIAN SUCI, SEINDAH DAHULU, KENANGAN.
TERISAK KERINDUAN MENANGISI SEBUAH KISAH.
MENGGUGAH KEINDAHAN YANG TERBINGKAI, SEJUKKAN SINGGASANA HIDUPKAN KEMESRAAN.
SELAMA ITU DENGANNYA.

HINGGA KABUT TIPIS JADI GUMPALAN HITAM MENGHILANGKAN CINTA ITU.
ARTI YANG DEMIKIAN HILANG DARI TATAPAN, LAMBAIAN DALAM UNGKAPAN KEPERIHAN.

SUATU PERPISAHAN.

MEMBAWA AKU DALAM SENDIRI, DIBAYANG-BAYANG KETAKUTAN GELAP.
AKU INGINKAN DIA SAAT INI, MENCERAHKAN CINTAKU, LAGI.

Kesetiaan yang terlalu lugu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Sudah kau maniskan cintaku untukmu.
Kau kecup urat malu cintaku.
Kau jamah lembut kasar wajah dan tubuhku, dengan bahasa yang
hanya ditafsir satu pikiran.
Sudah kau bayangi langkahku untuk mengejar matahari.
Dan kini hanya aku yang menatapi semua ini, remang semu aku mencari jalan untuk suatu puisi.

Kau, kau telah pergi melepas jiwaku yang inginkan jiwamu.
Terbang melayang menggapai awan hitam.
Kau hilang.

Dimana kau sang mimpi-mimpiku?
Dimana engkau perempuan?
Lukisanmu pun masih menghiasi reruntuhan kalbu.
Sungguh, rasa ini abadi dan yang tertinggal dalam kesunyian rindu.
Hanya menantimu.
Hanya menjerit namamu kini.

Punah aku dimakan waktu.
Abadi cintaku karena kau benalu.

Kopi Yang Manis

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Aku bersandar pada cahaya kecil.
Duduk bersila, kuteguk kopi itu.
Manis bukan main rasanya.
Tentu, kau yang memulai.
Kau, dihadapanku, menatap bola-bola kecil menghiasi pandang.
Malam begini, kau tautkan keanggunan dan puisi.
Indah dirimu, mengalun syair.
Tak kucari, tapi memang dadaku seiring bernyanyi.

Maka, menari lah kita, sepi dan malam pun jadi panggung.
Kita pun termangu, bergelut pada sisi yang tak bertemu.
Pada apa kita kan berharap?
Sebuah nama atas kesucian belum terjamah.
Simpan rasa ini, malam ini jadi awal ungkapan.

Kehadiranmu membasuh luka, selama aku tahu kan tak jemu.
Kan kuraih apa yang bisa membuat kita satu.

Ketika Ada Drama di Hidup Ini

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
AKU BENCI MEREKA YANG LEMAH.
YANG TAK KUAT MELIHAT KESOMBONGAN DUNIA.
AKU BENCI MEREKA YANG CENGENG.
YANG TERBUNUH KARENA DRAMA TANPA EPISODE.

DAN AKU BENCI PADAKU KETIKA AKU JADI BEGITU.
DAN AKU PUN BENCI KETIKA SANG RATU PUN JADI BEGITU.
AKU TAK AKAN MEMANJAKAN HAL ITU.
SEKALIPUN ITU MENYERETKAN AKU PADA KEMATIAN.

Masa lalu, begitu pilu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Masa lalu menjejali lagi pikiranku
Mengusik keadaan yang semakin melaju.
Andai ku berjalan lagi di waktu itu, ingin kusempurnakan semua kelakuanku.
Membersihkan ruang hati yang berdebu.
Menjemput sebuah anugerah untuk kusayangi, kamu.
Merasakan air matamu, juga tawamu.
Namun aku terlalu bodoh untuk semua itu.

Adakah waktu untuk membuai dan membelai lagi kisah dulu?
Hidup bagai klise berserakan dan selalu bisu.
Emosi begitu berseru untuk ketakutan kalbu.
Sampai manakah resah ini berlalu?
Sungguh hidup kini dikuasai rasa malu.

Malam Untukmu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
Aku bawa kamu mengitari sudut kota ini.
Ditengah bisingnya mereka yang begitu angkuh.
Tapi bukankah kita disini kan memadamkan rindu? Sepertinya pun hasrat sudah menggebu.
Jangan takut sayangku.
Cendawan malam kan memayungi kemesraan kita.
Jangan takut cintaku.
Biarkan kita menyendiri.
Biarkan juga sepi menyanyi.

Lupakan gelisahmu.
Hati begitu putih untuk menjadi keruh.
Peluk aku.
Padamu aku ingin terus mengadu.
Kecup aku.
Bersamamu aku ingin selalu.

Ringkasan Kalbu

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Ingin sekali aku berbicara padamu, serta tatapan melambai kalbu.
Ingin sekali aku memegang tanganmu, memikat rindu kian satu.
Betapa gilanya imajinasi, ketika sederet kata berkumpul jadi bingung.
Tak pernah sedikit pun jiwa ini membeku, walau bibir membisu.

Kian elok matamu, terbingkai dua kelopak yang pancarkan rona warna.
Kamu, begitu cantik, secantik aku mengenal kata cantik.
Jemu ku menjauh, bila cintamu berlabuh dihati.

KOSONG

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

KOSONG : PART 1

kulihat matanya,kosong. Tak ada apa-apa seperti kata mereka yg bisa memancarkan cinta.Ku dekat,lebih dekat hingga aku memandang hatinya.sama,kosong bagai kuil yg terpencil.Aku memegang tangannya,kaku dingin bagai setangkai kayu musim dingin.kurasakan tubuhnya,kujamah setiap lekuk puitis tubuh itu.aku mati rasa.bentuk kian patah.wajah kian gelisah.Ada apa dengan dia?aku merangkul,membawanya berjalan dalam gendongan.Sepi.ak tatap dia dalam-dalam,ku tunggu sepasang bibir itu berbicara.bisu..ia tlah mati.

 KOSONG : PART 2


Ketika aku tau dia tlah mati.aku pun trus berjalan menuju bukit pengasingan,sambil ia dlm pelukan tanganku,gendonganku.aku mencari satu pohon,dimana violet2 melambai padaku.sambil aku mencari juga dimana edelweis itu.tapi,aku begitu bodoh menganalogikan kisah edelweis dlm hdupku.dan disaat itu,keringatku membasahi lelahnya raga.tanah di bawah pohon itu aku gali,hingga aku merasakan bahwa disini aku dapat mengubur yg mati.

KOSONG : PART 3


aku masuk ke dalam lubang itu.kutaburkan tanah ke dalamnya.seketika itu,dalam tatapan terakhir,aku lihat lagi matanya.di atasku,dari bawahnya tanah hampir ke jantung bumi.aku akan tidur dalam lubang itu.sambil aku bicara,'tak ada lagi romeo & juliet'.aku sendiri.

Rel Terpanjang

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Gelisahku bernyanyi, pelan merdu dan malu-malu.
Senangku bersendu, terpojok pada sketsa yang ujungnya belum terbentuk.
Sedihku berlarian kecil, menyusuri rel yang teramat jauh.
Ketiadaan dalam sebuah mimpi. Mengendus dan menyentuh bidang kisah nyata.
Sang perempuan, mengumpulkan sari-sari musim lalu, menyatu dalam rindu, dia.
Lama ia menunggu, pada yang tak ditunggu, aku.

Kuingat-ingat, rol film ini tak mungkin akan habis, setidaknya pada penjemputan nanti.
Duduk,berdiri,berlari, di atas rel. Tinggalkannya..

Satu per satu

Kutembaki satu per satu. Mati pun satu per satu. Kupungut juga satu per satu. Capekku tiba satu per satu. Keringatku menyusul satu per satu. Lalu kumakan satu per satu. Manis asam asin datang satu persatu. Kentutku juga ikut nyanyi satu per satu. Lalu, ku langkahkan kaki ini satu per satu. Ku sampai, ku sumbangkan tahiku satu per satu. Baunya menusuk hidung satu per satu.

Aku analogikan semuanya satu per satu. Ternyata Tuhan telah memberiku takdir satu per satu.

Rasa

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Terlalu dalam menembus nadi, kepingan hati remuk pasti.
Pada kenyataan buatku tersakiti, ku tahu cermin tlah berserakan di lantai.

Dasarnya adalah tentang cinta, bukan tangis atau pun tertawa.
Akhirnya hanya lah goresan tinta, yang ditulis anak manusia.

Jika pun aku berharap tak terjadi, itu telah terjadi.
Mawar pun akan slalu bersanding melati, andaikan Chairil Anwar tak mati.

Bebaskan prosa ini, agar puisinya dapat diresapi.
Rasakan kedalaman ini, slalu aku tau cintaku tak akan mati.

Nyawa

Sebuah Puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Aku berlari, begitu cepat dan sangat cepat.
Jejak yang sudah, telah berganti jadi kepudaran.
Betapa bosannya aku saat ini.
Saat harus merasakan impian-impian.
Membayangkan mencium lama-lama bibir wanita, terjun dalam beningnya tetesan cinta.
Betapa menderitanya hidup dalam mimpi.
Tak dapat terjadi ketika aku sedang bermimpi.
Tolol. Anak manusia tolol karena harus bermimpi, sekalipun itu kodrat.
Tapi, yang aku tahu, hidupku hanya saat ini.
Aku hanya ingin kenyataan. Kebebasan.
Hari ini, nyawaku tinggal satu.

Melodi

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Di Wina, kita akan bersembunyi dibalik sebuah lukisan.
Sebuah mahakarya dunia.
Di Milan, kita akan berdansa untuk keangkuhan kita.
Di Istanbul, kita akan berpeluk dan mencinta.
Di Kairo, kita kan mengarungi Nil dengan kepuasan.
Di Bali, kita akan merengkuh alamnya, untuk kita resapi.
Tapi tau kah kau wahai Melodi, bahwa dipikiranku, kota-kota itu semua sama saja bagiku. Tak ada tarik menarik yang memunculkan birahi. Tak sepertimu, Melodi.
Kau tau Melodi, setangkai mawar sedang tumbuh di tamanku, perasaanku.

Ya, terlalu banyak!

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Pulang lah pada kesunyian.
Rebahkan kegelisahan kita.
Pundak kita terlalu lelah,sayang.
Kenalkan pada kata-kata puitis, tapi jangan terlalu puitis kayak Khaled Hosseini.
Hanya satu, kecup lah untaian kejujuran.

Perlahan kita berjalan.
Menyongsong secercah cahaya di barat.
Kita menjelang senyuman bintan, kedipan genit matanya.
Melayangkan harapan akan mimpi-mimpi.
Seperti aku, yang memimpikan kata-kata ini semua.

Ah sayang, aku bermimpi lagi.
Maafku untukmu.

Ah

Sebuah Puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Tahu kah malam ini ada sebuah cerita?
Kesendirian, dalam mekarnya kembang-kembang bermadu cinta.
Dan aku,jadi patung di atas kecemburuan.
Melihat senyuman terakhirmu kemarin.
Tentang cinta yang harus menghilang.
Pada rentan waktu yang meracuni perasaanku.
Ketika alunan biola yang menyeka tetesan kehidupanku.
Kehilangan terbesar pada sebuah cinta.
Dan memang tak pernah berharap, untuk kehilanganmu.
Namun, itu terjadi.

Pelipis mataku jadi kaku.
Bola mataku jadi juling.
Rambutku jadi kusut bak pita kaset menggulung.
Puisi cinta yang tragis.

Tapi,mungkin juga sangat membunuh.
Ketika perasaan kangen, sekilas bentuk wajahmu hanya muncul samar. Bagai siluet.
Mencium aroma bau ketiakmu pun aku tak bisa lagi.
Dimana kau pilar-pilar hidupku?
Penopang agar tegaknya aku menakluk dunia.
Aku tak seperti Amir Hamzah yang melankolis.
Aku juga bukan Kahlil Gibran yang romantis.
Aku hanya perindu kasih sayangmu.

Anneilies, aku curhat padamu!

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Anneilies tersayang, mau kah engkau bersandingku pada kegelisahan ini?
Sungguh ku sayangku, aku hanya ingin menyeka air mataku dengan belaianmu.
Anneilies tercinta, kau dengar kah jantung ini berbicara?
Jangan bohong! Jangan, jangan sekali-kali kau bohong!
Sungguh pun jantung tertusuki, ia tetap bisu hanya mendetak.
Mulut, dia aksinya.
Perlu kah kusampaikan wahai daraku? Ya, ya..ya! Telah kusertakan amarahku pada makian. Ya, pecahan gelas dan piring, alangkah indahnya porak-poranda.
Anneilies, cium aku!

Ya, Anneilies!

Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

Kau tertidur? Ah, baik sayang, aku teruskan.
Dapatkah kau gambarkan bagaimana kegelisahan itu? Apa bentuknya?
Anneilies Sri Ratu-ku, pada apa seharusnya kutemukan tawa? Tangis?
Coba kau jawab!
Aku tersipu dalam mega awan saat ini!
Aku ingin menulis, tapi penaku merajuk. Keberatan kau Anneilies-ku, keberatan kah kau mensaksi?
Ya, tolong lah kau sayati diri ini, pilih lah belati yang asah mengasah! Agar aku bisa, agar semua tercucurkan pada segarnya darah.
Anneilies, tak bosan aku mengucap namamu! Hujam aku!!

Lesu atau tegak, Anneilies!

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar

 Jadi kau pergi, Anneiliesku? Jangan sayang, biar tunduk lesu atau tegak tegap, kau disini, menyandingkan cinta. Ada aku.
Bicara sayang! Pekat malam dan malasnya subuh kau membisu. Mari madu-ku, kusuapkan nasi ini. Biar sekali dalam nafas yang panjang, aku dapat rasakan menyuapi barang 2 sendok.
Sini kasihku, kita berandai-andai dan lepaskan paraunya suara hidup.
Ah, Anneilies-ku, tak dapat lagi kulukiskan senyum mataharimu. Indah bukan kepalang.
Lagi, mari kugendong kau, kuciumi lagi. Ah, memang kau ini.

Persetan

 Sebuah puisi, karya : Aqsha Al Akbar
 
Betapa memuncak darahku, percikan amarah ditengah kegelisahan.
Membuat aku begitu suka memaki dalam kebengisan.
Jangan, jangan sekali-kali ada orang yang merasuki lingkar neraka amarahku.
Sudah begini, tak tersisa ruang untuk mengucapkan kegembiraan kembali.
Aku begini, bukan karena suatu apa. Tapi, memang jelas segalanya jadi samar.
Lupakan simfoni kehidupan, aku berada dalam kolosal ketidaktahuan.

Memang sudah seperti itu, semua pun jadi kolaps.
Terlalu sering aku terusik. Lama!
Beraneka dimensi tak dapat aku bedakan.
Menjadi apa yang seharusnya tak harus.
Seharusnya dapat.

Eranglah pada kehidupan.
Biarpun begitu, tetap akan selalu ada.
Aku, kehilangan kata-kataku sekarang.
Ah, sedang laju kutulis kira-kira hati ini. Pikiran ini.
Hilang.

Berikan, berikan aku kata agar dapat kujelajahi dan kulemparkan seluruh alpabet.
Mana?

Anneilies?
Mana kau Anneiliesku?

Kulanjutkan..
Sekiranya afdol jika bersama realita.